Warga Jakarta atau Anda yang sering menghabiskan hari demi hari di Jakarta tentu tidak asing lagi dengan yang namanya Bajaj.
Ya, moda transportasi yang mulai nge-hits dari zaman Bung Karno itu kini menjadi bagian dari masalah ketika dikaitkan dengan polusi. Sampai akhirnya dicetuskanlah peremajaan Bajaj dengan mengganti jenis konsumsi bahan bakar dari BBM ke BBG
Kejadian mengejutkan saya alami ketika Jum’at (15/03/2013) naik Bajaj dari Mangga Dua ke Jayakarta. Di tengah perjalanan sang pengemudi membelokan Bajajnya ke SPBU.
Berikut adalah foto yang saya ambil secara diam-diam dari jok penumpang.

Tukang Bajaj menyerahkan uang “Dua Puluh Ribu aja Mbak”. Kemudian penjaga SPBU menyerahkan handle selang BBM jenis Premium dan tukang Bajaj tersebut mengisi sendiri jerigen kecil di sampingnya.

Saya sempat heran, awalnya mengira dia beli untuk sepeda motor di rumahnya.
Tidak afdol rasanya kalau tidak bertanya. “Udah gak pake gas lagi bang ?”
“Enggak mas, susah nyari gasnya” jawab tukang Bajaj
“Ooo… lha terus sebetulnya murah mana antara pake gas sama premium ?”
“Sebetulnya enakan dan murahan gas mas, tapi ya mau gimana lagi kalau susah nyarinya. Mas bisa cek sendiri dah berapa banyak SPBG di sini (Jakarta). Kalau udah gini kan kita juga yang susah”.
Ternyata kendaraan yang saya kira ramah buangan itu kini mulai ‘meminum’ premium. Tidak ada gas, premiumpun jadi.
Kalau saja jawaban tukang Bajaj itu mengatakan lebih murah premium, yakin 99% bahwa dia nakal. Tapi kalau kondisinya demikian, tampaknya proses peremajaan Bajaj menjadi moda transportasi ramah lingkungan dari BBM ke BBG adalah proyek setengah hati.
Pola pergeseran yang diterapkan pemerintah dari kendaran berbahan bakar minyak ke kendaraan berbahan bakar gas tidak disertai dengan hadirnya stasiun pengisian gas yang memadai dan mudah dijangkau. Umpamanya seperti “mau bikin anak, tapi tidak mau ngasih makan”, yang terjadi Bajaj-Bajaj berasupan khusus itu jadi minum apa saja.
Discussion about this post