Pariwisata telah menjadi komoditi pendapatan yang tidak lagi alternatif. Bahkan negara-negar petro dolar di Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi telah melakukan diversifikasi ekonomi dari yang tadinya sangat bergantung ke minyak, kini super serius mengembangkan industri pariwisata. Di saat yang sama, Indonesia juga tidak mau kalah dengan terus menggenjot potensi wisata tanah air melalui kampanye wisata halal. Melihat industri pariwisata yang terus menggeliat, yang bahkan travelling kini sudah menjadi tren bagi generasi milenial, layak bagi kita untuk mengulas sejauh mana sebuah daerah atau kota bisa disebut sebagai kota wisata yang baik dan ideal.
Saya telah merangkum beberapa indikator yang menjadikan sebuah kota tidak hanya sekadar menyandang kota wisata, tapi juga layak disebut sebagai kota wisata yang baik, bahkan ideal. Terutama jika dilihat dari situasi kekininan.
Berikut ini adalah tanda sebuah kota layak disebut kota wisata yang baik dan ideal.
Kota Wisata yang Baik Wajib Aman dan Tenteram
Pada praktiknya, perjalanan wisata kadang (sesungguhnya) adalah perjalanan yang melelahkan. Wisatawan harus menempuh jarak puluhan, ratusan bahkan ribuan kilometer. Lalu apa sebetulnya yang mereka cari? tidak perlu jauh-jauh kita mencari referensi jawabannya, coba tanyakan saja pada diri sendiri. Ya, rata-rata dari kita akan menemukan jawaban berupa kata “ketenangan” dan “penyegaran”. Dua kata yang memiliki hubungan begitu erat.
Tanpa hadirnya rasa aman dan tenteram, mustahil wisatawan akan mendapatkan ketenangan dan penyegaran. Itulah kenapa destinasi-destinasi wisata yang sangat populer di dunia bisa begitu diminati, karena salah satunya ada rasa aman dan tenteram yang bisa dihadirkan, sehingga para turis bisa mendapatkan pengalaman perjalanan yang mengesankan, dan itu bisa menjadi sebuah bahan cerita positif untuk mereka bagikan yang tidak hanya setelah kembali ke daerah/negara asalnya, tapi langsung dari tempat wisata yang dikunjungi.
Kota Wisata yang Baik Haruslah Bersih dan Indah
Ini sudah harga mati dan tidak bisa ditawar lagi. Hanya saja kekeliruan yang masih banyak terjadi di kota-kota wisata ialah ketika tuntutan kepada publik (termasuk wisatawan) untuk menjaga kebersihan tidak dibarengi dengan tersedianya fasilitas kebersihan yang memadai. Masalah paling umum adalah tempat sampah yang kadang sulit ditemukan.
Bisa jadi masyarakat itu sebetulnya sudah sadar akan pentingnya menjaga kebersihan, tapi kesadaran mereka tidak terwadahi oleh media penampung yang layak dan dan berada di tempat yang tepat.
Tidak hanya bersih dari sampah, eloknya pemerintah setempat juga serius menata kotanya dengan lebih rapi dan asri. Tidak lupa menjaga eksositem lingkungan agar tetap seimbang. Soal rapi dan asri, tidak terlalu sulit untuk menguukurnya. Ya, tanyakan saja pada netizen, mereka akan kompak menjawab “Instagramable!“
Kota Wisata yang Baik Tentunya Memiliki Banyak Penginapan dengan Berbagai Tipe dan Pilihan
Bagaimana ceritanya jika sebuah kota ingin disebut sebagai kota wisata, bahkan kota wisata yang baik, tapi minim akan sarana penginapan? Okelah anggap sudah banyak, tapi banyak saja kadang tidak cukup jika masih sulit ditemukan oleh para wisatawan. Bisa jadi karena penginapannya rata-rata bukan hotel berbintang, sehingga tidak terdaftar di marketplace hotel, atau karena pengelolanya tidak melakukan pemasaran yang kreatif. Saran saya, pemerintah setempat bisa melakukan beberapa hal berikut ini:
- Edukasi para pelaku usaha penginapan, entah itu berupa homestay, guest house, wisma, motel atau bahkan hotel sekalian agar mereka mendaftarkan penginapannya di Google My Business. Bingung caranya? bisa dilihat di video Menumbuhkan Bisnis Lokal dengan Memanfaatkan Google dan Facebook ini. Masih bingung? silakan undang saya ke kota Anda. 😀
- Buatkan platform khusus, baik itu portal maupun aplikasi, yang berisi direktori penginapan di kota tersebut. Kalau perlu, jadikan itu sebagai marketplace penginapan lokal semacam Trave**ka dan kawan-kawan. Akan lebih bagus lagi jika pengelolaannya berada di bawah payung paguyuban atau koperasi penyedia penginapan, sehingga bisa lebih mandiri dan independen.
Kota Wisata yang Baik Memiliki Sarana Transportasi yang Memadai
Bayangkan, Anda mau mengunjungi sebuah obyek wisata di kota tertentu, tapi tidak ada angkutan transportasi yang memadai untuk menuju ke sana. Bagi wisatawan rombongan mungkin ini tidak terlalu masalah, tapi bagi solo traveller, ini pe-er banget.
Di beberapa kasus, minimnya sarana transportasi yang ada kadang malah jadi ajang pemanfaatan bagi sebagian orang yang menawarkan jasa angkut, tapi dengan harga yang berkali-kali lipat.
Di era digital saat ini, tuntutan bukan lagi di level tersedia sebetulnya, tapi juga mudah atau tidaknya informasi rute/trayek diperoleh agar tidak ada cerita jalan-jalan seperti tanpa tujuan, alias kesasar. Maka, alangkah briliannya kalau pemerintah daerah tidak hanya menyediakan angkutan yang memadai, tapi juga menghadirkan direktori lalu lintas berbasis digital yang informatif.
Kota Wisata yang Baik Ramah Terhadap Wisatawan, Termasuk Soal Harga
Mestinya soal keramahan bukan lagi masalah bagi kita sebagai orang Timur, khususnya Indonesia. Karena sejak dulu kala kita dikenal sebagai bangsa yang ramah. Sayangnya, di beberapa destinasi, istilah “tuan rumah yang ramah” seperti tinggal cerita. Masih sering terjadi pemanfaatan aji mumpung terhadap wisatawan yang datang. Seperti harga makanan yang yang begitu mau dibayar harganya tidak masuk akal dan tukang becak yang nganter keliling kota memaksa kita untuk belanja oleh-oleh di pusat oleh-oleh tertentu.
Belum lagi soal keamanan. Sesama orang lokal saja masih banyak potensi risiko terjadinya tindak kekerasan dan kejahatan, apalagi sama orang asing, baik yang dari manca negara maupun dari luar daerah. Penekanan terhadap keamanan harus menjadi kesadaran dan tindakan bersama.
Masyarakat wajib diedukasi pentingnya sadar wisata, sehingga keamanan bisa dijaga bersama-sama. Minimal seperti di Bali. Orang Bali sangat sadar wisata, sehingga mereka juga sadar akan pentingnya kondusifitas. Sebab kalau Bali tidak aman, Bali tidak menarik bagi wisatawan, itu artinya orang Bali bisa kehilangan mata pencaharian.
Kota Wisata yang Baik Memiliki Aneka Pilihan Kuliner yang Khas, Enak dan Halal
Di dunia pariwisata, makanan atau kita biasa menyebutnya kuliner, selalu punya porsi cerita sendiri, di samping indahnya sebuah destinasi. Setiap kenikmatan di balik gigitannya selalu membawa cerita unik yang paling pertama dibagikan oleh para wisatawan.
Khas dan lezatnya sebuah kuliner bisa menjadi penyempurna akan pesona sebuah kota/destinasi wisata. Kuliner juga bisa jadi penawar rasa kecewa ketika destinasi yang dikunjungi tidak sesuai yang diharapkan, seperti dikarenakan cuaca yang kurang mendukung dan lain sebagainya.
Khusus soal kehalalan, mohon jangan dilihat sebagai sesuatu yang SARA. Bagaimanapun, lebih dari 80 persen masyarakat kita beragama Islam, dan kondisi tersebut sebetulnya adalah peluang yang perlu dibuka lebar. Pertama, kalau halal bagi yang Muslim, bagi yang non Muslim-pun tentu bukan masalah. Di saat yang bersamaan ada pangsa wisatawan yang begitu melimpah.
Kedua, potensi halal tour di Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjadi tujuan wisata yang nyaman bagi para wisatawan dari negara-negara dengan mayoritas penduduknya Muslim, seperti Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Saudia Arabia, Uni Emirat Arab dan negara-negara Timur Tengah serta Asia Tengah lainnya.
Di Kota Wisata yang Baik, Sinyal Internet Mudah Didapat dan Tidak Lelet
Bagi generasi milenial yang kini lebih banyak menyisihkan uangnya untuk travelling dibanding buat belanja barang, jaringan koneksi internet yang tidak lelet sudah menjadi hukum wajib dan tidak bisa ditawar. Baik di obyek wisata, selama perjalanan, maupun penginapan.
Ini juga peluang sebetulnya, karena dengan tersedianya jaringan internet yang baik, kota wisata tersebut juga mendapat ekspos potensi secara gratis dari akun media sosial dan blog milik para wisatawan. Bahkan secara realtime, ketika wisatawan ada di lokasi.
Discussion about this post