Membangun Indeks Kebahagiaan. Bhutan bukan negara besar dan tidak kaya raya, tapi “Negara Naga” itu menempati urutan ke 8 sebagai negara paling bahagia menurut survey Universitas Leicester (Baca: University of Leicester Produces the first ever World Map of Happiness). Hasil survey tersebut bahkan sempat menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan psikolog ekonomi barat, bahkan ada yang mempertanyakan hubungan antara tingkat pendapatan dan kebahagiaan. Mengingat Bhutan bukanlah negara dengan pendapatan yang tinggi.
Pada tahun 1987, seorang wartawan dari Financial Times (Britania Raya) menyatakan bahwa perkembangan di Bhutan sangat lambat. Menanggapi tudingan tersebut sang Raja, Jigme Singye Wangchuck mengatakan bahwa “Kebahagiaan Nasional Bruto lebih penting daripada Produk Domestik Bruto”.
Pernyataan sang raja sontak menjadi bahan penilitan para ahli ekonomi barat. Hasilnya? Bhutan pun dianggap telah berhasil membangun perekonomiannya dengan model yang cocok dan unik, berdasar pada nilai-nilai spiritual agama dan tradisi lokal, kemudian membuahkan hasil yang sering tidak disadari oleh banyak negara maju (secara ekonomi), yaitu kebahagiaan masyarakatnya.
Istilah Kebahagian Nasional Bruto atau Gross National Happiness (GNH) itu sendiri sebetulnya pernah dilontarkan oleh sang raja pada tahun 1972. Awalnya dilontarkan dengan santai begitu saja, tapi lambat lain GNH mendapatkan perhatian dari banyak pihak.
Slogan “Gross National Happiness” di Thimphu’s School of Traditional Arts (Mario Biondi, Penulis Italia)Pemerintah Bhutan berkeyakinan bahwa perkembangan yang menguntungkan masyarakat (manusia) akan terjadi ketika pembangunan material dan spiritual terwujud secara berdampingan untuk melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Maka, mulailah dikenal 4 pilar GNH, yaitu:
- Pembangunan berkelanjutan
- Pelestarian dan promosi nilai-nilai budaya
- Pelestarian alam
- Pembentukan pemerintahan yang baik
GNH kian menarik perhatian, proses penelitiannya telah melahirkan pengembangan yang variatif dari GNH itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa GNH mengacu pada konsep pengukuran gabungan kuantitatif kesejahteraan dan kebahagiaan, ada juga yang berpendapat bahwa GNH hanya mengacu kepada kuantitaif kebahagiaan yang umumnya lebih dipengaruhi oleh pola hidup dan spiritual.
Pada tanggal 19 Juli 2011, PBB menyetujui resolusi yang disponsori Bhutan 65/309, berjudul “Happiness: Towards a Holistic Approach to Development“, yang didukung oleh 68 negara. Isinya kuring lebih menyatakan bahwa “kebahagiaan adalah tujuan asasi manusia dan aspirasi universal; bahwa PDB menurut sifatnya tidak mencerminkan tujuan; bahwa pola berkelanjutan produksi dan konsumsi menghambat pembangunan berkelanjutan; dan bahwa pendekatan yang lebih inklusif, adil dan seimbang diperlukan untuk mempromosikan keberlanjutan, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang mendalam.”
Bicara GNH, saya jadi ingat Ridwan Kamil atau biasa disapa Kang Emil (Walikota Bandung) yang sering mengatakan “indeks kebahagiaan” setiap kali beliau meluncurkan program-program baru yang bertujuan untuk memberikan kebahagiaan kepada masyarakat Kota Bandung.
Menurut Kang Emil, dari hasil penelitan ada tiga unsur yang memengaruhi peningkatan indeks kebahagiaan di sebuah kota, yaitu orang-orangnya sering tersenyum, sering disapa dan menemukan hal baru. Tiga hal tersebut kemudian diterjemahkan oleh Pemkot Bandung ke dalam berbagai bentuk program baru yang menurut saya dituntut harus revolusioner.
Kenapa harus revolusioner ?
Satu dari tiga unsur yang mempengaruhi peningkatan indeks kebahagian itu mungkin bisa langsung bisa terpenuhi, yaitu memberikan hal baru kepada masyarakatnya, tapi untuk dua hal lainnya, yaitu membuat orang-orangnya sering tersenyum dan saling sapa membutuhkan proses yang cukup berat mengingat berkaitan dengan mental dan pola pikir individu. Apalagi di saat bersamaan masuk input-input baru yang memberikan potensi stres menjadi lebih tinggi sebagai dampak era globalisasi.
Dari sini kita bisa melihat bahwa penerapan GNH ala Bhutan dan Bandung akan cenderung berbeda, dimana posisi Kang Emil sebagai walikota Bandung rasanya lebih berat dalam memprogres GNH dibanding Jigme Khesar Namgyel Wangchuck (Raja Bhutan). Bagaimanapun masyarakat Bhutan tradisinya lebih terproteksi dibanding orang Bandung (Indonesia). Jika di Bhutan Gross National Happiness lebih penting dari Gross National Product, maka di Indonesia kedunya sudah menjadi sama penting dan harus bisa digabungkan.
Berat bukan berarti tidak mungkin, saya yakin ketika Kang Emil mengadopsi teori Indeks Kebahagian untuk pertamakalinya di Indonesia, beliau sudah mempunyai strategi terukur dan terencana dengan baik untuk sampai ke sana. Perlu dukungan dan kesadaran bersama agar “pilot project” cita-cita mulia tersebut terwujud. Logikanya simpel saja, siapa sih yang tidak ingin bahagia? ketika pemimpinnya membuka jalan itu, masa rakyatnya tidak mendukung?
Belajar dari tantangan dan peluang peningkatan GNH di Bhutan dan Bandung, saya kira keduanya bisa bertemu pada satu titik, yaitu nilai-nilai spiritual. Kang Emil dan jajaran pemerintahannya sedang membuka jalan peningkatan GNH itu melalui (setidaknya) tiga unsur yang sudah disebutkan diatas. Disaat yang bersamaan sebagai masyarakat (khususnya warga Bandung) dengan penuh kesadaran kita bisa mengambil peran pada sisi spiritual. Apalagi sisi spiritual lebih dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat privatif dan sulit untuk diintervensi.
Boleh percaya boleh tidak, tak sedikit orang kaya raya secara materi yang hidupnya tidak merasa bahagia kemudian menemukan kebahagiaan itu melalui sisi spiritual. Ia menjadi kaya akan rasa syukur dan hidup penuh penerimaan atas segalan nikmat yang diberikan oleh sang pencipta. Hidup menjadi terasa lebih bernilai ketika ia menjalankan keyakinan spiritual yang mengajarkannya tentang bagaimana pentingnya berbagi, berbuat kebaikan, hidup dalam keteraturan, dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Selamat berjuang menggapai kebahagiaan.
Discussion about this post