Ketika masih SMP dulu saya sempat bertanya-tanya, apa sih simbol yang tertera persis ditengah-tengah logo Kabupaten Tangerang ?, wajar ya tentunya sebagai pelajar di Kabupaten Tangerang saya punya pertanyaan demikian. Saya sempat bingung apa iya ini gambar gunung ?, dilirik-lirik dan ditelisik sama sekali tidak mencerimankan ikon sebuah gunung, kalau gunung kenapa warnaya kuning dan kaki gunungnya nampak, biasanya kan kalau logo pake ikon gunung tidak tampak bagian kaki gunungnya untuk lebih kelihatan estetis. Tidak mau terus penuh tanda tanya, sayapun langsung menanyakan ke guru SMP saya, nah dari situlah saya baru tahu kalau itu adalah ikon Topi Bambu yang merupakan ciri khas kerajinan tangan dari Kabupaten Tangerang.
Hari Minggu kemarin, tepatnya tanggal 3 Juli 2011 alhamdulillah saya ada kesempatan hunting (ce elaaaaah…. sok gaul ya bahasanya) untuk lebih explorite (exploration & write) tentang Topi Bambu sama teman saya (salah satu founder topibambu.com), yaitu Kang Agush Ckp (Ckp ≠ Cakep, Ckp = Cikupa, heheheeee….).
Starter, Gigi 1, Tancaaaaaap !!!
Tempat yang pertama saya sambangi adalah Kelompok Pengrajin Dua Angsa (KPDA) di Desa Sukaharja, Kecamatan Sindangjaya yang dikomandoi Bapak Endin. Perlu disampaikan juga memang, kalau salah satu tujuan saya dan Kang Agush datang kesana adalah untuk memastikan kesiapan peliputan oleh Trans7 dalam program Laptop Si Unyil hari Selasa besok. Hahhhh… diliput tivi ?, upppsss… santai ya gak pake kuah… heheheeee…. Iya, berkat perjuangan publikasi kawan-kawan di topibambu.com akhirnya mendapatkan perhatian dari Trans7 untuk meliput para pengrajin Topi Bambu. Sebelumnya memang sempat ada penawaran liputan juga dari SCTV, namun sangat disayangkan tim topibambu.com dan SCTV tidak bisa menemukan kesepakatan waktu yang tepat dikarenakan berbagai halangan dan kesibukan antara kedua belah pihak. Jadi mohon do’anya aja ya, 99 % siap diliput, 1 % nya “takdir”.
Saat berangkat ke KPDA, Kang Agush membawakan 2 buah bentuk topi hasil kerajinan dari daerah lain yang terbuat dari anyaman Pandan, sebagai bahan perbandingan untuk lebih meningkatkan kualitas produk para pengrajin Topi Bambu dan mengembangkan inspirasi supaya tercipta bentuk lain yang lebih inovatif dan beragam. Sepintas menurut penilaian pribadi saya, tanpa bermaksud melebih-lebihkan ternyata secara memang Topi Bambu jauh lebih baik, entah itu dilihat dari segi estetika seni dan kerumitan pengerjaan maupun dari kualitas hasil produksi.
Setelah ngobrol-ngobrol sebentar dengan Bapak Endin selaku koordinator KPDA, saya diberi petunjuk kalau sebagian besar produk yang dikerjakan di KPDA pengerjaan tahap awalnya dilakukan oleh para pengrajin di daerah Desa Ancol Pasir, Kecamatan Jambe. Untuk lebih mudah menemukannya kamipun diberi beberapa petunjuk arah alamat dan disarankan disana untuk menemui Bapak Rahman. Tanpa banyak membuang waktu saya dan Kang Agush-pun langsung meluncur ke TKP.
Selang sekitar 1 jam, kamipun tiba di Rumah Pak Rahman. Ternyata tidak terlalu sulit memang untuk menemukan kediaman beliau, saat kami bertanya untuk menanyakan alamat rumahnya persis disitu tempatnya.
Catatan Lisan Sejarah
Saya belum banyak membaca literatur atau tulisan sejarah tentang Topi Bambu, padahal sudah sangat banyak sekali ulasannya. Ahhh… mungkin saya memang masih terlalu malas untuk membaca. Setelah sedikit ramah tamah dan ngobrol-ngobrol ringan dengan sikap yang penuh keramahan dari tuan rumah (padahal ini baru pertama kali saya datang, tapi sudah seperti tetangga dekat saja), saya coba untuk mengarahkan ke arah obrolan yang lebih serius, salah satunya adalah awal mula tradisi penganyaman Topi Bambu.
Kalau ditanya tentang awal mula, ternyata hampir bisa diyakinkan tidak ada yang tahu. Gambaran yang didapat, ternyata ketika Pak Rahman dan Istrinya masih anak-anak dulu, masing-masing kakek-neneknya sudah menganyam Topi Bambu. Pak Rahman juga pernah menanyakan awal mula anyaman Topi Bambu kepada kakeknya, kakeknya bilang “Dari jaman kanak-kanak dulu, kakek abah sudah nganyam Topi Bambu”. Nah, kebayang gak tuh…., berapa generasi coba ?.
Dari situ saja sudah terbayangkan, betapa luar biasanya hasil karya leluhur masyarakat Tangerang. Mungkin Sobat akan bilang : “Ya elaaaaah, nenek moyang bisa nganyam Topi Bambu aja dibangga-banggain, orang sebrang tuh nenek moyangnya bisa bikin kapal, mobil, mesin, biasa-biasa ajaaaa…”. Tapi asal sobat tahu, bahwa dengan itu nenek moyang kita mampu mewariskan secara turun temurun lintas generasi sebuah ilmu murni yang mereka kembangkan sendiri. Dan kita, belum tentu mampu melakukan itu dan bertahan selama itu. Terlebih lagi kita cenderung sebagai generasi yang konsumtif unproduktif.
Hasta Karya Bernilai Seni Tinggi
Kalau orang biasa diminta membelah bambu setebal 0,5 cm menjadi 14 bagian dengan jumlah ketebalan yang sama, saya tidak begitu yakin bisa melakukannya. Saya sempat mencoba dengan cara saya sendiri (sebelum melihat langsung caranya) ternyata susah sekali, dan ternyata Sobat… segala sesuatu memang ada ilmunya, termasuk membelah 0,5 cm tebal bambu menjadi 14 bagian ruas. Siapa tuh yang ngembangin ilmunya ?, saya juga gak tahu, yang jelas lagi-lagi ini bukti kalau nenek moyang kita juga jenius dan mampu membuat sesuatu dengan akurasi presisi yang tidak bisa disepelekan.
Masih gak yakin kalau bambu setengah senti bisa jadi 14 lapis ?, silahkan amati gambar dibawah ini. Ada bebera helai yang mendempet karena saking tipisnya (seperti uang yang baru keluar dari PERURI).
Kisah Indah Topi Bambu di Masa Kejayaan Pramuka
Emang ada hubungan antara Pramuka sama Topi Bambu ?. Emhhh… gak tahu dia, yuk ah tarik maaaaaang….. ^,^
Kalau Sobat perhatikan topi yang digunakan oleh anggota Gerakan Pramuka Putri, 99 % itu Topi Bambu, 1 %-nya aksesoris. Tidak bisa dipungkiri memang, kalau Gerakan Pramuka saat ini sedang mengalami kemunduran baik dari segi kegiatannya maupun pembinaan dan pengembangannya. Yang masih bertahan saat ini mungkin hanya tinggal agenda-agenda besarnya saja yang terasa kurang maksimal karena memang tidak didukung dengan realisasi agenda-agenda kecil. Tidak perlu bertanya siapa yang salah, karena bukan tidak mungkin kita sendiri ternyata tidak begitu peduli dengan Gerakan Pramuka.
Para pengrajin Topi Bambu pernah merasakan masa-masa keindahannya (dengan tegas mereka mengatakan) di zaman Orde Baru. Dimana pada saat itu Pramuka juga sedang jaya-jayanya, didukung penuh oleh pemerintah baik secara finansial maupun sistem pemerintahan. Dengan terus menggeliatnya kegiatan Pramuka sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa yang mandiri, tangguh (tidak cengeng dan lebay), berwawasan, kreatif dan lain sebagainya seperti yang diamantkan di Dasa Dharma dan Tri Satya Pramuka, maka berbuah manis juga bagi ribuan pengrajin Topi Bambu di Kabupaten Tangerang. Hah ribuan ?, Ya, Ribuan. Asal tahu saja 70 % dari jumlah penduduk di Desa Ancol Pasir, Kecamatan Jambe itu mampu menganyam Topi Bambu. Belum di desa lain dan di kecamatan lain yang hampir tersebar di seluruh Kabupaten Tangerang.
Ketika Pak Rahman menceritakan masa-masa yang telah berlalu tersebut, matanya begitu berkaca-kaca dan terbawa suasana saya dan Kang Agush-pun turu terharu. Mungkinkah hanya sampai disitu Kisah nan indah para pengrajin Topi Bambu dengan hasil karyanya ?, apakah harus kalau satu simbol di logo Kabupaten Tangerang yang begitu dibanggakan sebagai kekayaan intelektual masyarakat Tangerang kelak hilang ditelan zaman ?.
Memang, inilah hidup yang dinamikanya selalu berubah dan berganti arah. Tapi bagaimanapun sebuah identitas akan tetap melekat, melekat sebagai sebuah ciri khas yang harus diberdayakan supaya tetap bertahan baik itu dengan penyesuaian maupun pemassalan.
Harapan yang Terus Dibentang
Meskipun profesi sebagai penganyam Topi Bambu kini dirasa cukup jauh dari tingkat kesejahteraan, para pengrajin tetap optimis dan membangun harapan-harapan kedepannya yang berkaitan dengan Topi Bambu.
Tidak bisa dipungkiri dan tidak boleh dihilangkan memang bahwa sebetulnya Pemerintah Kabupaten Tangerang sendiri melalui dinas terkait sudah banyak memberikan perhatian, mulai dari pelatihan, seminar, dan juga pemberian bantuan berbagai alat kelengkapan (seperti mesin jahit untuk finishing agar hasilnya lebih berkualitas) bagi para pengrajin. Dan masyarakat sangat berterimakasih betul atas hal itu. Namun meskipun demikian ternyata fakta dilapangan memang para pengrajin masih membutuhkan bantuan dari berbagai pihak baik itu pemerintah maupun pihak swasta yang mempunyai kepedulian.
Berikut ini coba saya uraikan harapan-harapan yang jika bisa dilaksanakan akan sangat membantu para pengrajin Topi Bambu :
Pertama, Kendala yang paling mendasar diantara pengrajin ternyata tidak adanya pihak yang mau membeli dan menampung
disaat masa sepi pembeli. Jadi begini, pengrajin di Desa Ancol Pasir (yang terbagi kedalam beberapa kelompok) menganyam Topi Bambu sampai bentuk setengah jadi, bentuk yang setengah jadi tersebut kemudian dikirim (di jual) ke pengrajin lainnya yaitu KPDA di Sukaharja yang dikelola oleh Bapak Endin. Pak Endin dan kawan-kawan melakukan finishing sekaligus pengiriman penjualan ke berbagai kota. Masalah datang ketika penjualan sepi yang biasanya terjadi dibulan September sampai dengan Desember. Kalau penjualan sedang sepi, otomatis Pak Endin tidak bisa membeli membeli Topi Bambu yang setengah jadi dari pengrajin di Ancol Pasir, kalau tidak ada yang membeli otomotasi juga penganyaman terhenti dan para pengrajin harus memutar pikiran untuk cari cara lain supaya dapur tetap bisa ngebul.
Para pengrajin sangat berharap sekali adanya koperasi atau pihak tertentu yang mau membeli dan menampung disaat masa sepi penjualan. Para pengrajin sangat yakin kalau produk yang ditampung tersebut tetap akan terjual habis setelah masa sepi berlalu, terutama di bulan Juni, Juli dan Agustus. Mereka sangat yakin karena dibulan-bulan ramai pembeli tersebut mereka juga kewalahan, namun meskipun banyaknya permintaan tetap saja itu tidak berarti positif karena terbatasnya kemampuan mereka, karena mereka pengrajin dan bukan mesin.
Kedua, Pangsa pasar terbesar hasil kerajinan Topi Bambu saat ini adalah Anggota Pramuka, oleh karena mereka sangat berharap sekali kalau Pramuka bisa eksis kembali dengan dukungan ketegasa penuh dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Mungkin memang benar kalau bagi pengrajin yang paling dilihat dari sisi eksistensinya Pramuka adalah nilai komersil di balik topi yang dikenakan para anggotanya, tapi kalau pandangan dan penilaian kita coba dibuka lebih jauh banyak hal positif lain jiga Pramuka bisa eksis kembali.
Ketiga, Pengrajin memang membutuhkan modal, tapi yang jauh lebih mereka butuhkan lagi adalah pengembangan pangsa pasar. Ada banyak memang yang menawarkan bantuan pinjaman modal, namun ketika tidak dibarengi dengan luasnya pangsa pasar maka modal yang ada bisa jadi justru malah menjadi hutang yang melilit mereka.
Sebagai bahan tambahan untuk sekedar masukan dari saya, sepertinya emang perlu ada pengembangan inspirasi dan inovasi lebih serius bagi para pengrajin dalam membuat kerajinan Topi Bambu, sehingga Topi Bambu bisa menjadi lebih beragam bentuknya dan siapapun akan bangga memakainya. Dengan inovasi karya yang bisa menyesuaikan dengan trend mode tanpa merubah unsur pokok dari penganyamannya seperti Topi Bambu mampu bersaing dengan produk-produk lain sejenis baik lokal maupun global. Dan itu, yang sedang terus coba digalakan oleh sobat-sobat di TopiBambu.com.
Discussion about this post