Saat musim kemarau, Jakarta seret air. Saat musim hujan, Jakarta kebanjiran dan sibuk (tapi kesulitan) bagaimana caranya segera membuang air (ke laut). Jakarta tidak punya daerah resapan air. Duh, rasanya Jakarta tidak lagi Enjoy !
Padahal, dengan daerah resapan air itulah air pada musim hujan akan ditampung dan diserap, kemudian bisa bermanfaat saat musim kemarau tiba.
Tampaknya, pembangunan di Jakarta harus dihentikan. Betonisasi disana-sini selain mengurangi daerah resapan air juga menambah kemacetan. Kok bisa ?
Setiap pembangunan gedung, itu artinya membuat ruang baru untuk aktivitas manusia. Gedung baru selesai, manusia di Jakarta bertambah. Manusianya bertambah, arus mobilisasi pun bertambah. Semakin bertambah manusia semakin bertambah kendaraan di jalan, semakin sempit jalan, MACET !.
Menambah jalur dan lebar jalan sebanyak apapun tidak akan menghentikan kemacetan Jakarta jika betonisasi dan penancapan tiang-tiang pancang terus dilakukan. Sementara penambahan jalur transportasi pun terbentur ruang dan anggaran.
Belum lagi dengan promosi di bidang sana-sini yang menarik orang untuk datang ke Jakarta. Padahal, tanpa ‘menggoda’ orang untuk datang pun Jakarta sudah sedemikian padatnya.
Dipaksakan ?. Mau Tata Kota Jakarta semakin kusut ?. Dimana jalur transportasi seperti lilitan benang kusut yang melilit Kota Jakarta.
Sudah saatnya konsentrasi manusia dipecah tidak hanya di Jakarta, tapi di urai ke daerah-daerah lain. Yaitu dengan mengalihkan pembangunan ke daerah-daerah lain. Ini tidak hanya menjadikan pembangunan yang merata, tapi konsentrasi mobilitas manusia pun akan tersebar tidak hanya terpusat di Jakarta.
Pemerintah DKI Jakarta jangan terlalu mudah dalam memberikan izin konstruksi bangunan baru. Jakarta sudah cukup padat dengan bangunan. Yang diperlukan sekarang adalah menatanya dan merubah dari Kota Metropolis menjadi Kota Ecopolis.
Discussion about this post