Disaat kita mendengar kata digital, maka yang akan terbayang dalam bayangan sederhana kita adalah sesuatu yang canggih, modern, otomatis, dan cepat. Kecanggihan, kemodernan, keotomatisan, dan kecepatan tersebut sebetulnya adalah efek dari sebuah rangkaian yang sangat rumit. Rangkaian yang rumit tersebut kemudian membentuk satu wujud alat atau aplikasi yang memberi fungsi untuk menyederhanakan persoalan yang rumit dalam kehidupan sehari-hari manusia, sehingga persoalan tersebut menjadi mudah untuk diselesaikan.
Berbicara era digital, sebetulnya adalah membicarakan satu rangkaian panjang peradaban manusia dari zaman ke zaman, yang di setiap momentumnya akan melahirkan karya atau penemuan, dan salah satunya adalah digitalisasi di era saat ini, yang bukan tidak mungkin kedepannya akan terus berrevolusi ke era yang lebih dahsyat dari era digital saat ini.
Era digital adalah gambaran nyata dari perputaran waktu, ia tidak akan diam juga tidak akan menunggu. Jadi, ketika saya tidak mengikutinya atau tidak menjadi bagian darinya maka hanya akan ada dua kemunginan. Pertama, saya akan menjadi manusia dengan sumber daya yang sangat rendah dan kedua, saya akan dilindas dalam ketidakberdayaan menghadapi perkembangan teknologi. Dua kemungkinan itulah yang sepertinya akan terus memacu rasa ingin tahu atau rasa penasaran saya.
Kelas 2 SMA, saya belum bisa mengoperasikan perangkat komputer. Maklum, saat di tingkat menengah pertama saya sekolah di SMP yang berfasilitas sangat minim, sedangkan disaat SMA materi pelajaran komputer hanya satu kali dalam seminggu, itupun hanya 45 menit di luar jam pelajaran utama. Misalnya ketika kelas siang, maka 45 menit di waktu pagi (satu hari dalam semiggu) digunakan untuk praktek komputer. Apa yang akan kita serap dengan belajar komputer hanya 45 menit dalam seminggu ?, nyaris terasa sangat percuma, sehingga pada waktu itu saya berpikiran lebih baik setiap paginya saya tetap berjualan sayur di pasar. Sayapun tidak kaget, begitu kenaikan kelas mendapatkan sertifikat komputer nilainya “D” (konversi : kurang).
Di kelas 3 SMA satu kejadian mempengaruhi cara pandang saya terhadap dunia komputer, yang bisa dibilang sebagai prosesornya dunia digital. Iseng-iseng saya membaca salah satu koran nasional yang judulnya kurang lebih : “Tahun 2010 Tidak Bisa Komputer Akan Sulit Mendapatkan Pekerjaan”.
Berita tersebut sedikit banyaknya mulai mengusik ke-cuek-an saya terhadap dunia komputer yang tidak lain merupakan simbol utama dari dunia digital, rasa kekhawatiran mulai muncul dalam benak saya, paling tidak untuk 5 tahun yang akan datang dari saat berita tersebut saya baca, yaitu tahun 2005.
Berawal dari situlah semangat saya untuk lebih tahu hal-hal yang berkaitan dengan dunia komputerisasi mulai tumbuh. Karena saya tinggal disekolah sambil bantu ngerawat mesjid sekolah, kalau malam itulah saya beranikan diri meminjam kunci ruang komputer ke penjaga sekolah untuk belajar komputer sendiri melalui buku, beruntung penjaga sekolahnya baik dan juga percaya sama saya. Sayapun coba bangun kedekatan dengan guru komputer supaya kalau malam diijinkan belajar komputer di ruangan komputer tanpa kehadiran beliau, dan alhamdulillah guru komputer saya, yaitu bapak Sumartono mengizinkannya (terimakasih banyak bapakku ya mulia, semoga bapak selalu dalam lindungan Allah SWT).
Supaya ada simbiosis mutualisme, setiap saya selesai belajar, ruangan tersebut saya sapu dan rapihkan, paling tidak saya mengurangi apa yang haruskan dikerjakan oleh penjaga sekolah sekaligus sebagai rasa terimakasih saya yang tidak mungkin sanggup menutup segala utang budi saya atas kebaikan orang-orang yang memberi saya kesempatan untuk berkenalan dengan dunia digital.
Serasa mengalir begitu saja, setiap apa yang saya temukan dari dunia digital ketika mempelajarinya secara otodidak selalu saja mendorong rasa ingin tahu saya. Dua hal yang paling membuat saya penasaran adalah seputar jaringan komputer dan blog.
Tahun 2007 saya masih belum mengenal apa itu blog, padahal apa yang sering saya kunjungi di internet ternyata itulah blog, saya tahunya hanya website saja. Seringnya saya mengakses internet dan mengunjungi berbagai website membuat saya penasaran “bagaimana sih caranya membuat website ini ?”. Berusaha mengobati rasa penasaran tersebut kemudian saya cari-cari di Google, dan ternyata memang sulit untuk menemukan jawabannya, sekalipun ada yang ditemukan sangat sulit mempraktekannya. Yang coba saya buat saat itu adalah “mengadai-andai” seperti apa konten website yang ingin saya buat jika nanti saya mampu membuatnya, sampai-sampai saya membuat coretan-coretannya di kertas, dan kalau saya lihat coretan-coretan tersebut kadang saya suka tertawa sendiri.
Baru dibeberapa waktu kemudian saya menyadari kalau seharusnya yang saya cari itu bukan tutorial cara membuat website, tapi tutorial cara membuat blog yang memang jauh lebih bertebaran di jagad maya.
Ketika saya menemukan apa yang harus saya pelajari, justru semakin memotivasi saya untuk mempelajarinya. Ketika yang dipelajari tersebut berhasil dipraktekan, efeknya benar-benar seperti efek domino, mengalir ke banyak pertanyaan yang semakin membuat saya ingin tahu. Contohnya begini, saya berhasil membuat sebuah blog, kemudian timbul lagi rasa ingin tahu :
- Bagaimana cara mengganti themplate blog ?
- Bagaimana cara menulis konten yang menraik ?
- Bagaimana cara mengatur widget ?
- Bagaimana cara memasang jam di blog ?
- Bagaimana cara membuat readmore ?
- Bagimana cara membuat translate tool ?
- Dan lain sebagainya.
Semuanya benar-benar mengalir, ketika kita tahu cara menulis kontennya kemudian timbul lagi rasa ingin tahu “bagaimana cara membuat tulisannya berwarna ?”. Tapi itulah dunia digital, setiap apa yang disajikannya akan selalu melahirkan pertanyaan baru yang berpuncak pada rasa penasaran. Dan tahukah kawan, apa yang membuat “dunia digital” terus berkembang?, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang menjadi akar dari rasa keingintahuan dan pondasi dari rasa penasaran.
Jadi, kalau saya ditanya “apa efek dari era digital yang mempengaruhi kepribadian Anda ?”, jawaban singkatnya adalah saya semakin dibuat penasaran tentang banyak hal, dan oleh karena itu juga tagline di blog saya bertuliskan “Berawal Dari Rasa Penasaran”, karena memang blog ini yang tidak lain bagian dari era digital dibangun berawal dari rasa keingintahuan dan penasaran.
Setiap pertanyaan yang muncul mungkin juga akan mudah kita temukan jawabannya, karena ini era digital. Tapi jangan salah, kalau setiap jawaban tersebut coba kita telaah lebih dalam lagi atau bahkan ada jawaban yang berbeda dari sumber lain, justru akan semakin mendorong kita untuk tahu lebih banyak.
Inilah era digital, era dimana yang akan mendorong kita, anda, dan juga saya untuk belajar lebih giat, harus menumbuhkan banyak pertanyaan dan menemukan banyak jawaban. Era digital harus menjadi pendorong bukan sebagai penuntun, karena kalau era digital yang menjadi penuntun itu artinya kita akan selalu tertinggal.
Itulah sedikit uraian bagaimana digitalisasi telah mempengaruhi passion saya, cara pandang saya, dan cara belajar saya. Bagimana dengan sobat ?
Discussion about this post