Setelah sekian lama tidak mengikuti berbagai acara kopdar dengan teman-teman blogger, alhamdulillah hari Sabtu (06/11/2015) kemarin saya bisa luangkan waktu untuk kumpul-kumpul dan seru-seruan bareng lagi.
Mengambil tempat di Demang Restaurant Coffee & Lounge, kopdar kali ini kita manggul tema #KopdarTemanAsyiiik. Apanya yang asyiiik? Karena yang hadir di acara kopdar kali ini bukan cuma teman-teman blogger, tapi ada juga teman-teman pegiat kerajinan dan kesenian yang bakalan berbagi banyak kisah, baik itu tentang kerajinan dan keseniannya itu sendiri, maupun tentang perkembangan usahanya.
Beberapa pengrajin yang hadir antara lain ada Komunitas Topi Bambu yang diwakili oleh Saifullah (biasa dipanggil Bang Ipul), Mas Nanang (pengrajin batu/arca dari Trowulan), Mas Mursito (pengrajin iket kepala dari Blitar), Abah Iwan (pengrajin daur ulang karung goni dari Sukabumi), Bapak Tri Suyanto (seniman Reog asal Surabaya), Mas Fakhrul Huda (pegiat usaha batik dari Pekalongan), dan Pak Haryanto (pengrajin sandal ban bekas dari Banyumas).
Kalau biasanya kopdar blogger itu yang jadi pembicaranya adalah blogger, atau materinya berkatian dengan dunia blogging itu sendiri, kali ini enggak, beda. Mimbar pembicara benar-benar jadi milik teman-teman pegiat kerajinan dan kesenian. Ya, satu persatu mereka bergantian berbagi kisah tentang aktivitas usahanya, yang tidak hanya fokus pada masalah ekonomi, tapi juga lebih menitikberatkan pada pelestarian nilai-nilai budaya, lingkungan dan kekayaan intelektual.
Sepertinya inilah kopdar yang benar-benar membawa misi, misi tentang apa yang bisa kita (blogger) lakukan untuk memberi dukungan kepada teman-teman pegiat kerajinan dan kesenian.
Dimulai dari Komunitas Topi Bambu, Bang Ipul memaparkan perkembangan Komunitas Topi Bambu saat ini. Sebagai salah satu orang yang pernah hadir di dalamnya, saya cukup merasa bahagia. Topi Bambu kini lebih lebar kepakan sayapnya. Bahkan, bukan hanya topi yang menjadi core pengembangan, tapi juga berbagai kerajinan lainnya yang berbahan dasar dari bambu. Ada sepeda bambu, rumah bambu, dan lain sebagainya.
Bang Ipul dari Komunitas Topi Bambu Tangerang berbagi kisah tentang aktivitas usaha topi bambuEksisteni Topi Bambu yang lahir dari komunitas blogger di Tangerang, kini telah menjangkau berbagai wilayah di tanah air dan negara di dunia. Meski demikian, Topi Bambu bukan tanpa tantangan, pemberdayaan para pengrajin, injeksi modal produksi dan manajemen jalur distribusi menjadi pekerjaan rumah yang harus diantisipasi mengingat semakin banyaknya orang yang tertarik dengan berbagai produk dari Topi Bambu.
Berlanjut ke Mas Nanang, pengrajin batu atau arca dari ibu kota kerajaan Majapahit pada masanya, yaitu Trowulan, Mojokerto, berbagi kisah bagaimana ‘kerasnya’ kehidupan para pengrajin batu di sana. Sejatinya, ukiran-ukiran batu dari Trowulan banyak dicari oleh para penikmat seni dan kolektor dari berbagai negara, tapi ada sesuatu yang keliru terkait informasi asal-usul karya ukiran batu tersebut. Ya, banyak yang mengira kalau asal muasal ukiran batu yang sebetulnya dibuat oleh para pengrajin di Trowulan itu berasal dari Bali. Mau tidak mau, setiap karya yang dibuat pengrajin jalur distribusinya harus melewati Bali, padahal dari Bali karya-karya tersebut akan dibawa ke luar negeri melalui jalur Surabaya (kembali lagi ke Jawa Timur).
Mas Nanang, pegiat kerajinan batu atau arca dari TrowulanJalur ditribusi yang berbelit dan terpusat di Bali ini membuat para pengrajin sangat bergantung terhadap kondisi di Bali. Tidak hanya itu, proses disribusi yang panjang juga membuat pendapatan para pengrajin lebih kecil, karena untuk menekan harga jual agar tidak terlalu tinggi, padahal di penjual akhir harganya bisa tetap tinggi. Kembali, yang lebih penting dari itu adalah hasil olah pahat seniman Trowulan menjadi kehilangan identitas.
Selanjutnya giliran Mas Mursito, pengrajin iket kepala dari Blitar. Pria yang mempunyai kios di dekat makam Bung Karno ini bercerita bagaimana niat ikhtiarnya yang tidak hanya mengejar untung semata, tapi ada upaya pelestarian sebuah seni ikat kepala yang khas dari Blitar. Dengan keuletannya, Blitar tetap eksis mempunyai ciri khas iket kepala sendiri, seumpama Madura, Bali, Solo dan Jogja.
Mas Mursito, pengrajin iket kepala dari Blitar. Gak ada model, narsis sendiri aja. 😀Dilanjut sesi berikutnya, ada Abah Iwan atau yang lebih dikenal sebagai Abah Goni. Di tangan kreatifnya, Abah Iwan sukses mengolah limbah karung goni menjadi benda-benda melekat pada tubuh kita, seperti topi, tas, gelang, rompi, jaket, sepatu, tas dan lain-lain. Ya, Abah Iwan sukses ubah karung goni bekas jadi karya seni berkualitas.
Abah Iwan a.k.a Abah Goni dengan model dadakannya, Karel AndersonSelepas Abah Iwan, sekarang giliran Pak Tri Suyanto. Dosen ilmu hukum di sebuah universitas ternama di Jawa Timur ini sekarang fokus dalam mengembangkan dan mempopulerkan kesenian Reog. Berkat keuletannya bersama rekan-rekan se-paguyuban, kesenian Reog yang dipimpinnya tidak hanya dipentasan di acara-acara pertunjukan tradisional, tapi juga sukses dipentaskan di ajang-ajang internasional, bahkan di kapal pesiar.
Di sini juga Pak Tri bercerita bahwa upayanya dalam melestarikan kesenian Reog tidak serta merta mempertahankan apa yang selama ini menjadi tradisi. Zaman sudah berubah, ada hal-hal mana yang harus dipertahankan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan, diantaranya adalah pertunjukan ekstrim seperti makan ayam hidup-hidup sebisa mungkin tidak ditampilkan dalam setiap pertunjukan.
Pak Tri, pegiat kesenian reog yang berasal dari SurabayaSesi keenam adalah giliran Mas Fakhrul Huda, pegiat batik dari Pekalongan. Sempat terkesan biasa-biasa saja diawal pemaparannya, beberapa menit kemudian kami dibuat terperangah, yaitu saat Mas Fakhurl Huda menunjukan batik tulis asil Pekalongan dengan motif Gogokei yang pengerjaannya membutuhkan waktu dua tahun. Luar biasa! Lalu berapa kisaran harganya? Ternyata hanya 17 juta rupiah. Kenapa saya bilang hanya? Silahkan hitung sendiri 17 juta rupiah dibagi 24 bulan (masa pengerjaan), kebayang kan berapa perkiraan pendapatan perbulan sang pembatiknya?
Belum sempat kami bertanya kenapa harganya bisa murah? Ternyata langsung terjawab, kami mengatakan murah karena tahu berapa lama proses pengerjaannya, sedangkan di luar sana banyak yang tidak tahu dan menganggap harga 17 juta itu sangatlah mahal.
“Batik ini dibuat dengan dedikasi, bukan dengan nilai komersil. Sebagai bentuk pengakuan atas karyanya yang sangat otentik, pengrajin berhak menuliskan namanya diatas kain batik ini.” Ujar Mas Fakhrul Huda
Lalu bagaimana jika Anda berminat?
Inden! Itulah yang bisa dilakukan, karena terlalu berisiko jika capek-capek selama dua tahun mengerjakan batik yang istimewa, tapi ternyata belum tentu ada yang membelinya.
Di bagian akhir, tiba gilirannya Pak Haryanto dari Banyumas yang dengan tangan uletnya sukses memodifikasi limbah ban bekas menjadi sandal berbagai bentuk yang memiliki nilai estetika, kualitas dan jual yang tinggi. Tidak hanya melakukan proses daur ulang, Pak Haryanto juga sukses membranding produk-produknya dengan merek Bandolan.
Discussion about this post