Saya jadi ingin ikutan menulis soal mobil Esemka.
Begini, saya pikir bahwa bagian penting dan membanggakan dari mobil ini adalah ketika ia bisa diterima oleh pasar. Bukan lagi ketika ia lahir.
Mirip seperti manusia, lahirnya disambut dengan suka cita, tumbuh dan besarnya kadang malah euuuhhh, sok pikeuheuleun!
Sama seperti menulis dan menerbitkan buku, ketika bukunya terbit senangnya minta ampun, begitu tahu pasar kurang meminati, itu penulis kalau tidak kuat mental bisa kapok menulis lagi.
Apa jadinya kalau cuma dielu-elukan, tapi pasar tidak tertarik — atau minimal dibuat tertarik — menerimanya? Simple saja, kamu… iya kamu… mau tidak, jual mobil kamu sekarang, terus kamu beli Esemka?! Andai mampu dan tak ada prioritas lain, saya sih mau.
Kesalahan awal dari mobil ini adalah lahirnya terlalu politis, seolah tidak untuk bisnis. Jadi tidak usah heran, kalau di kemudian hari ada dan tiadanya selalu jadi bahan gunjingan.
Oke lah, beras sudah terlanjur jadi tepung.
Sekarang, kalau memang untuk bisnis, kehadiran Esemka harus dikonsep ulang untuk bisa diterima oleh pasar, karena embel-embel “karya anak bangsa” saja sudah tidak cukup dan ini bukan jamannya lagi. Orang-orang setengah mati ngumpulin duit buat beli aset, sudah pasti aset yang dibeli gak mau asal-asalan.
Otak dan hidup kita ini sudah kadung dididik jadi kapitalis oleh keadaan. Rencana pembelian akan menghasilkan banyak perhitungan agar kelak aset itu tidak terlalu cepat susut nilainya.
Produk dalam negeri atau bukan, pada akhirnya user akan kembali mengukur pada seberapa besar manfaat yang ia peroleh. Kalaupun mau peduli sedikit pada bangsanya; ia akan mengukur seberapa besar penerimaan yang diperoleh negara? Lalu diukur lagi, seberapa bijak negara dalam mengelola pemasukan yang diperoleh untuk kepentingan rakyatnya. Kalau ternyata mereka tidak merasakan manfaat dari pengelolaan anggaran itu, ya sudah… jangan heran kalau tidak peduli lagi produk dalam negeri atau bukan.
Esemka harus dilepaskan dari kepentingan politik.
Kalau itu tidak dilakukan, gambaran kasarnya Esemka hanya akan memiliki pangsa pasar pendukung Pak Jokowi. Sekarang, berapa persen dari pendukung Pak Jokowi yang mampu membeli mobil?
Atau lebih spesifik lagi, berapa persen yang mampu dan TERTARIK membeli mobil Esemka?
Sampai di sini cukup jelas, untuk bisa bertahan hidup (dan terus berinovasi), Esemka tidak bisa hanya dengan dibanggakan, tapi juga harus dibeli (produknya)!
Ingin se Indonesia tertarik membeli?
Ya itu tadi, lepaskan dari kepentingan politik.
Cukup beri ruang untuk bisa bersaing dan bersanding dengan merek-merek global, karena dari situ akan lahir inovasi mulai dari pengembangan, produksi, pemasaran, sampai ke layanan purna jual. Beri kesempatan Esemka untuk bisa merangkul hati semua orang dengan natural.
Discussion about this post