SEA Games 2017: Prestasi Terburuk Olahraga Indonesia di Sepanjang Sejarah SEA Games

Pembukaan SEA Games 2011 - CC-BY Gunawan Kartapranata. Di SEA Games 2017, Prestiasi Terburuk Olahraga Indonesia sepanjang sejarah SEA Games harus ditelan.

Pembukaan SEA Games 2011 - CC-BY Gunawan Kartapranata. Di SEA Games 2017, Prestiasi Terburuk Olahraga Indonesia sepanjang sejarah SEA Games harus ditelan.

Rasa pahit akan hancur leburnya prestasi olahraga Indonesia akhirnya terpaksa harus kita telan sama-sama. Di SEA Games 2017 Kuala Lumpur, kontingen kebanggaan kita harus tercecer di peringkat 5 dengan raihan medali 38 emas. Ya, inilah capaian prestasi terburuk olahraga Indonesia di sepanjang sejarah SEA Games. Sebuah sejarah pahit yang harus kita lewati. Jangan ditempati.

Masa kejayaan olahraga Indonesia di kancah SEA Games praktis terhenti di tahun 1997. Tahun di mana jika dirunut ke periode perhelatan SEA Games sebelumnya, Indonesia selalu menjadi dominator juara umum (kecuali saat Thailand menjadi tuan rumah di tahun 1985 dan 1995). Setelahnya, tak sekalipun Indonesia menjadi juara umum (ketika bukan sebagai tuan rumah). Puncak buruknya prestasi Indonesia dalam 40 tahun terakhir, atau persis sejak Indonesia menjadi peserta SEA Games IX pada tahun 1977 di Kuala Lumpur (sebelumnya dikenal dengan SEAP Games) adalah tahun ini, di SEA Games XXIX 2017 yang kembali di helat di Kuala Lumpur, Indonesia terjerembab di urutan 5 dengan raihan medali terendah sepanjang sejarah.

Di SEA Games ke 23 di Manila pada tahun 2005, untuk pertamakalinya Indonesia terdampar di peringkat 5 dengan raihan medali emas (49), perak (79) dan perunggu (89). Terburuk saat itu. Harapan Indonesia untuk kembali ke “jalan yang benar” sempat muncul ketika di dua SEA Games berikutnya naik ke posisi 4 dan 3. Sampai akhirnya melesat ke peringkat 1 di SEA Games ke 26, dimana ketika Jakarta dan Palembang menjadi tuan rumah. Setelahnya? di SEA Games ke 27 dan 28 kita kembali dikangkangi Thailand, Vietnam dan bahkan Singapura.

Ambruknya prestasi olahraga Indonesia di level SEA Games saya yakin sudah menjadi kekhawatiran bersama. Kenapa? karena ironisnya tahun 2018 kita akan menjadi tuan rumah untuk ajang pesta olahraga yang lebih besar, yaitu Asian Games. Meski bukan berarti tidak mungkin, jika berkaca ke hasil SEA Games 2017, sulit rasanya kita bisa bicara banyak di level Asian Games. Apalagi dengan rentang evaluasi dan persiapan yang hanya 1 tahun. Di saat yang bersamaan, negara lainpun sudah pasti melakukan persiapan yang tidak kalah hebatnya, ditambah dengan tingkat kepercaya diri yang lebih.

Evaluasi Menyeluruh Sistem Pembinaan Atlet dan Penerapan Sport Science

Peningkatan prestasi dan daya kompetensi olahraga tidaklah mudah. Itulah kenapa sangat tidak elok kalau kita menyalahkan salah satu pihak atas memburuknya prestasi olahraga Indonesa. Butuh waktu dan rangkaian pembinaan yang panjang dengan blueprint (cetak biru) atau masterplan yang terencana dan sistematis. Tidak lupa, melibatkan semua pihak (stake holder).

Soal cetak biru, beberapa negara di Asia Tenggara yang kini mampu menyalip Indonesia di SEA Games telah melakukannya. Itulah kenapa Singapura yang memiliki luas dan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, tapi sanggup mencetak atlet-atlet tangguh. Bukan hanya sekadar cetak biru, mereka juga sudah memasukan unsur-unsur Sport Science ke dalam metoda pembinaan olahraga.

Pembinaan Olahraga Berbasis Sport Science (Istimewa)

Pentingnya memasukan sport science ke dalam pembinaan olahraga tanah air tidak lepas dari pola pembinaan saat ini yang masih sangat bergantung ke unsur bakat dan fisik individu yang biasanya baru terlihat potensinya di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Pola pelatihanpun masih dominan hanya berdasar faktor empiris sang pelatih. Sementara di belahan negara lain, sudah menggunakan metode-metode kepelatihan yang yang terukur, teruji dan ilmiah.

Pendekatan sport science pada pembinaan olahraga tidak hanya melatih soal teknik dan strategi, tapi juga membangun fisik dan mental dari dalam diri sang atlet dengan baik dan benar. Dalam pembinaan olahraga berbasis sport science, akan selalu ada dokter yang akan mengawasi, mengevaluasi dan memastikan kesehatan. Di Indonesia, biasanya pengawasan dokter baru ada hanya di level pemusatan latihan nasional (Pelatnas). Sedangkan untuk jenjang di bawahnya, jangankan untuk membayar honor dokter, honer atlet saja dibayarkan sering dirapel.

Selain bagian kedokteran, ada juga bagian fisioterapi, bagian rileksasi, bagian gizi dan yang tidak kalah penting adalah bagian psikologi, yang peranannya sangat luar biasa dalam membangun kesolidan tim, seperti hubungan antar pemain, pemain dengan ofisial dan pemain dengan atmosfir pertandingan.

Menerapkan sport science memang tidaklah murah, tapi kita bisa memulainya dari cabang-cabang olahraga yang potensial di kancah internasional.

Membangun Kesadaran Pemerintah Daerah Akan Pentingnya Pembinaan Olahraga Prestasi

Sejatinya PON dan PORPROV (Pekan Olahraga Provinsi) adalah arena yang bagus untuk mengukur sejauh mana capaian prestasi pembinaan cabang olahraga di daerah. Namun, ajang yang baik ini seringkali dipahami secara salah oleh beberapa pemerintah daerah, terutama oleh mereka yang kurang (bahkan enggan) melakukan pembinaan olahraga prestasi secara simultan dan serius.

Atas nama medali dan citra  nama daerah, jalan pintas nan instan masih sering dilakukan dengan “bajak membajak” atlet potensial dari daerah lain, dengan imin-iming bonus dan material yang menarik. Kalau boleh saya mengatakan, ini adalah tindakan jahat. Daerah lain yang lelah membina, hanya dalam hitungan bulan dia yang mendapatkan nama.

Agas sulit memang untuk mengendalikan kasus bajak membajak atlet ini, karena pemerintah daerah punya kewenangan untuk menerbitkan dokumen administrasi atlet. Cara yang paling sederhana adalah dengan memperjauh jarak mutasi atlet oleh Komite Olahraga Indonesia (KOI) atau Pengurus Pusat masing-masing cabang olahraga. KOI sendiri sebetulnya sudah mengeluarkan aturan nomor 56 Tahun 2010. Diaturan ini mutasi atlet dari satu provinsi ke provinsi lain baru bisa dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum PON. Mengingat di PON 2016 saja kejadian membajak atlet ini masih ada, seperti KOI harus menambah batas minimum mutasi, menjadi 5 tahun misalnya.

Tujuan dari membatasI ruang gerak pembajakan atlet ini adalah membangun kesadaran semua pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan atlet dengan baik dan benar.