Menelisik Krisis Kaderisasi Partai

Kader Partai

Masih ‘keren’ kah menjadi kader partai? Pertanyaan tersebut terlontar ketika kita berada pada iklim pengkaderan partai yang bisa dibilang memasuki era krisis.

Jawabannya tentu saja bukan dengan kata ‘keren’ atau ‘tidak keren’. Butuh jawaban dengan penjabaran nyata, karena ini sudah ibarat tantangan yang menguji seberapa cerdas dan serius sebuah partai dalam menjalankan kaderisasi. Kaderasisasi yang tidak hanya menekankan pada doktrin dan pengkultusan sosok pemimpin.

Kegagalan proses kaderisasi partai di Indonesia menjadi makin tampak ketika mulai memasuki babak tahun politik. Partai-partai lebih intens menyasar kalangan selebritis sebagai ‘kader karbitan’ untuk didudukan di kursi legislatif, ketimbang melihat potensi kader binaan. Antara takut kalah dan mengakui ketidakmpuan dalam pengkaderan jadi satu paket yang tidak bisa dipisahkan.

Secara aturan hukum memang tidak salah, apalagi kalau tolok ukurnya lagi-lagi mentok di Pasal 43 Ayat (1) UU 39/1999 tentang HAM ; “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak.”. Tapi jika dilihat secara moral dan fungsi struktural kepartaian, tentu ini sebuah cacat.

Kader yang cerdas, bisa saja ia akan merasa sakit hati jika bertahun-tahun mengabdi menjadi bemper paling depan untuk berhadapan dengan konstituen, tapi tidak pernah merasakan adanya peningkatan posisi kedudukan di partai. Aneh rasanya jika ada ‘kutu loncat’ dari partai lain yang baru beberapa hari menyatakan bergabung langsung mendapatkan kedudukan strategis di partai.

Krisis Kaderisasi Partai: Pengurus Teras Lemah Daya Intai

Bicara politik tentu saja bicara strategi (siyasah). Bicara strategi sudah pasti berbicara kekuatan lawan dan kawan. Bagaimana mungkin sebuah partai tahu kekuatan diri sendiri kalau untuk ‘berperang’ pun memilih prajurit dadakan yang sama sekali masih buta dengan ruh partai. Demi obsesi sesaat lalu rela diri (partainya) menjadi timbul – tenggelam – timbul – tenggelam – lalu kelelep.

Pengkaderan adalah soal keberlangsungan hidup partai untuk jangka panjang. Maka dari itu, partai harus menguatkan daya intai yang tidak hanya ke luar, tapi juga ke dalam. Gaya-gaya elitis harus ditinggalkan, karena bagaimanpun, cepat atau lambat, dengan peran pemerintah atau tidak, masyarakat akan semakin cerdas dan makin jijik dengan strategi politik elitis. Disinilah pengkaderan yang sehat akan menjadikan partai lebih membumi.

Strategi politik yang elitis dan acuh terhadap fungsi pengkaderan, jika pada saatnya ‘gong perang’ ditabuh hanya akan melahirkan langkah-langkah perjuangan azas manfaat. Penentuan calon wakil dadakan imbasnya melahirkan kader/relawan dadakan pula. Sulit untuk dihindarkan, akhirnya kekuatan uanglah yang menjadi tenaga. Jangan kaget, ketika di kemudian waktu kekuatan uang juga yang akan membinasakannya.

Runtuhnya Mental Kader Karena Lemahnya Sosok Kepemimpinan

Kita bayangkan sejenak; ada sebuah partai yang mempunyai kader-kader luar biasa loyal. Karena doktrin yang kuat (semisal pengabdian di partai adalah sebuah ibadah), dengan senang hati alih-alih mendapatkan uang dari partai justru mereka rela menyisihkan uang untuk membesarkan partai (karena itu bagian dari pengabdian).

Itu baru bicara materil, apalagi soal moril. Tanpa sungkan dan ragu, dengan senang hati mereka juga yakinkan masyarakat luas bahwa partai yang diikutinya adalah partai yang kredibel dan tepat untuk dipilih pada pemilu. Bukti ‘kesehatan’ partai tersebut diaplikasikan oleh sang kader dalam kehidupan sehari-hari. Ia posisikan diri bahwa ketika orang lain melihat tindak-tanduknya, seolah-olah yang dilihat itu adalah perwujudan dari partai.

Kurang lebih, mindset yang terbentuk di benak masyarakat bisa jadi “Oooo… ternyata orang-orang partai ‘anu’ baik-baik ya, berarti partainya memang punya visi yang baik”.

Di sini siapapun akan melihat bahwa partai sanggup membentuk kader yang mampu mempresentasikan partainya melalui tindakan nyata dan perilaku sehari-hari. Luar biasa bukan peran sang kader?

Tapi, apa jadinya jika pucuk pimpinan tertinggi partai tersebut berbuat kesalahn yang fatal ?

Telak, rasa sakit tidak hanya mengoyak-ngoyak popularitas partai, tapi juga menusuk satu-persatu jantung kader partai yang sudah sedemikian rupanya mengharumnkan nama partai.

Jutaan kader yang pasang badan sebagai benteng penjelmaan partai, seolah runtuh seketika hanya karena “noda setitik pekat air se lautan“.

Satu dosa –kader– ujung tombak partai (di tingkatan paling bawah), belum tentu ditanggung oleh petinggi partai. Tapi satu dosa petinggi partai, maka semua wajah kader harus menanggung malunya.

Kaderisasi partai yang gagal dan hanya melahirkan wakil-wakil serta pemimpin rakyat yang bermantal jegal dan jagal, pada akhirnya akan mengantarkan masyarakat Indonesia pada situasi yang apatis.

Jika partai total kehilangan kepercayaan, niscaya Indonesia terancam mengalami kegagalan konstitusional. Akhir yang dikhawatirkan, semua harus diawali dari nol yang sangat dimungkinkan akan disertai dengan resistensi menyakitkan.